Senin, 16 November 2009

BENTUK SIMBOLIK DALAM PUISI ACEP ZAMZAM NOER

BENTUK SIMBOLIK DALAM PUISI ACEP ZAMZAM NOER

YANG BERJUDUL “ SEPAKBOLA”

Adiel Kundhara (306212403140)


Acep Zamzam Noor telah menghasilkan ribuan sajak yang indah untuk kita pahami. Penggunaan diksi yang tepat dan menarik membuat puisi ini memiliki nilai estetik yang tinggi. Simbol, pilihan kata dan makna merupakan karakter kuat dari Acep Zamzam Noor. ketiga hal tersebut perlu dianalisis untuk mengetahui pesan yang disampaikn oleh pengarang. Sajak sepakbola ini merupakan sajak yang mengusung tema kesedihan ini dapat kita lihat karena adanya lambang dan simbol dari sebuah penderitaan, air mata dan kematian. Inti dari sajak ini ialah perjalanan sang pengarang di hari akhir hidupnya dimana kematian tidak bisa kita helak sebab sudah ada yang mengaturnya.


Kata kunci: simbol, pilihan kata dan makna


Pada tanggal 28 Februari 1960, Indonesia melahirkan seorang sastrawan yang hebat bernama Acep Zamzam Noor. Anak asli Tasikmaya ini menyulap negara kita menjadi negara yang maju dalam bidang seni sastra khususnya. Banyak coretan-coretannya yang telah dimuat di media masa baik dalam negeri maupun luar negeri misalnya Italia.

Selain menulis puisi beliau juga ahli dalam melukis berpameran. Kota Utrech (Belanda) dan Ipoh (Malaysia) membuat namanya semakin berkibar. Prestasi segudang telah diraihnya tentunya dibutuhkan kerja keras supaya karya yang dihasilkan benar-benar maksimal atau memiliki nilai yang tinggi.

Puisi Sepakbola adalah salah satu puisi yang ia ciptakan pada tahun 2005. Di dalam puisi ini terlihat unsur diksi yang paling menonjol. Keindahan perpaduan simbol dan makna menjadikan daya tarik tersendiri pada puisi Acep Zamzam Noor ini. Sehingga saya ingin menganalisnya supaya makna keseluruhan dari puisi ini dapat saya tangkap.

Pilihan kata yang luas tetapi selaras dengan makna sangat berpengaruh penting pada puisi, karena puisi itu besar dari kata. Keindahan dalam suatu karya sastra itu pertama akan terlihat dari permainan kata yang digunakan oleh pengarang atau biasa kita sebut dengan diksi. Semakin luas cakupan dari pilihan kata pengarang akan semakin tinggi pula nilai suatu karya tersebut. Kata disini masuk bagian unsur interistik yang dapat mempercantik bentuk fisik puisi.

Pengertian pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu. Istilah ini bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraselogi, gaya bahasa, dan ungkapan. Fraselogi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokkan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai artistik tinggi.

Kata-kata yang digunakan dalam puisi bersifat asosiatif. Keterkaitan lambang dan simbol yang digunakan oleh pengarang merupakan keadaan jiwa atau emosi yang dialami oleh sang pengarang tersebut. Diperlukan skemata yang tinggi serta perasaan terjun langsung ke dalam alur puisi itu untuk mengetahui segi makna.

Kita dapat menarik kesimpulan bahwa diksi bertujuan pertama, mencakup pengertian kata-kata mana yang dipkai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokkan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi dalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki pembaca. Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu.

Sepakbola

Di usianya yang ke-45, lelaki itu menuliskan sejumlah kata

Pada secarik kertas, yang tergantung bimbang

Di rangkaian kembang. ”Aku merindukanmu

Seperti merindukan Inne Ratu, dulu

Ketika seluruh langit masih biru”


Saat itu hampir senja, keloneng becak di simpang tiga

Lampu redup sekitar pos ronda, dan sebuah beringin tua

Runtuh di halaman TK. Lelaki itu memandang ke mulut gang

Ke deretan rumah dan madrasah, hingga sebuah kelokan

Yang telah menyembunyikan seseorang


Di usianya yang ke-45, kata-kata yang pernah dirangkainya

Terus bergema di rongga dada, memukul-mukul iga

Di antara batuk dan asma. ”aku mencintaimu

Seperti mencintai Inne Ratu, dulu

Ketika merasa tak ada masalah dengan waktu”


Waktu adalah gelanggang olahraga, nampaknya:

Banyak lapangan, banyak permainan, tapi selalu berujung

Pada kalah dan menang. Kemudian lelaki itu berjalan, sendiri

Ke arah stadion, melewati jalan yang remang

Ia bermain sepakbola melawan sepi


Pada awal puisi ini Acep Zamzam Noor menirukan struktur seperti pada fabel atau dongeng, dengan menekankan setting waktu untuk memulai pengungkapan perasaannya. Dimulai dengan suasana hati yang tak bersahabat bimbang, pengarang merasa diakhir masa hidupnya karena telah mempunyai umur yang serasa tahun kemerdekaan bangsanya. Rasa bimbang tersebut dibarengi dengan rangkaian kembang dimana kita ketahui kembang yang juga bersinonim dengan bunga selama ini identik dengan sesuatu yang indah. Tetapi tak kita sadari kembang juga berhubungan dengan suatu kematian. Rangkaian kembang biasanya diberikan oleh orang-orang yang dekat dengan almarhum. sebagai tanda penghormatan terakhir sebelum jenasah dikebumikan.

”Aku merindukanmu

Seperti merindukan Inne Ratu

Sang pengarang merindukan seseorang yang selama ini dekat dengan dia. Ia menggunakan perbandingan antara yang dirindukan oleh pengarang dengan Inne Ratu. Tetapi terdapat kesamaan diantara kedua-duanya. Sayangnya dibelakang dibumbui dengan kata dulu ketika seluruh langit masih biru. Tampak eufimisme hadir dalam sajak ini dari dulu hingga sekarang langit berwarna biru, karena sebelumnya sudah menjurus kearah kematiaan, sehingga Acep menganggap langit sudah berwarna hitam karena ajal tak lama lagi akan datang kepadanya.

Saat itu hampir senja, keloneng becak di simpang tiga

Lampu redup sekitar pos ronda, dan sebuah beringin tua

Runtuh di halaman TK.

Pengarang mencoba mempengaruhi pembaca dengan menekankan segala rentetan kejadian. Pembaca seolah-olah ikut berada di tempat kejadian waktu itu. Lampu redup sekitar pos ronda dilanjutkan dengan sebuah beringin tua runtuh di halaman TK. Bencana telah terjadi, segala masa lalunya telah berakhir hal ini tampak pada penggunaan kata TK. TK yang merupan kependekan dari taman kanak-kanak merupakan cerminan atau potret pengarang saat dia masih kecil hingga dewasa.

Terus bergema di rongga dada, memukul-mukul iga

Di antara batuk dan asma. ”aku mencintaimu

Bait ketiga Acep mencoba memadukan salah satu organ tubuh dengan suatu aktivitas yang dilakukan oleh indera lain. Rongga dada dipadukan dengan suara bergema yang biasanya ditangkap dengan indera pendengar dan iga yang dikaitkan dengan tindakan dari indera peraba yaitu pukulan.

dulu

Ketika merasa tak ada masalah dengan waktu”


Segala musibah yang akan dialaminya sebentar lagi akan terjadi. Batuk dan asma merupakan lambang dari sebuah awal sebab-akibat. Dan pengulangan kata harapan itu hanyalah sebuah pengalihan suasana saja.

Waktu adalah gelanggang olahraga, nampaknya:

Banyak lapangan, banyak permainan, tapi selalu berujung

Pada kalah dan menang. Kemudian lelaki itu berjalan, sendiri

Ke arah stadion, melewati jalan yang remang

Ia bermain sepakbola melawan sepi


Bait terakhir ini merupakan sebuah plesetan dari pengarang sebagai patokan untuk dijadikan judul. Kadang kita dalam menempuh hidup ini ada susah dan senang. Dua hal yang selalu beriringan dan akan dijumpai oleh manusia. Tak ada sesorang yang hanya menemukan satu diantara kedua hal tersebut dalam kesehariannya. Teman merupakan sesuatu yang indah yang dimiliki oleh pengarang, jikalau kita tanpa orang lain kita tidak bisa hidup.

Didalam filsafat ada filosofi yang berbunyi ada terang ada padam, ada hidup ada kematian. Kematian atau kesedihan merupakan suatu kondisi yang tidak bisa kita pungkiri. Tuhan telah menciptakan sedemikian rupa, bukannya kita lantas memaki Tuhan, tetapi dibalik semua ini ada sesuatu yang indah yang akan diberikan-Nya. Demikianlah pesan yang terkandung dalam sajak Acep Zamzam Noor yang berjudul Sepakbola ini yang bisa saya tangkap.































DAFTAR RUJUKAN


Aminuuddin.1995. Stilistika, Pengantar Memahami Bahasa Dalam Karya Sastra. Semarang : IKIP Semarang Press

Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Muljana, Slamet. 1969. Kaidah Bahasa Indonesia. Ende : Nusa Indah

Ulmann, Stephen. 1981. Semantics: An Introduction to the Science of Meaning. Oxford : Basil Blackwell

Zamzam Noor, Acep. 2007. Menjadi Penyair Lagi. Bandung : Pustaka Azan.

Tidak ada komentar:

Searching