Jumat, 13 November 2009

Pamplet untuk P dan K Rendra : Sajak Lison

Dalam buku tergantung pada kata karya A. Teuw terdapat kritikan kepada sepuluh sajak Indonesia salah satunya milik Rendra dengan karyanya yang berjudul sajak lisong. Pak Teuw memulai kritiknya dengan pendekatan subjektif. Beliau mencari data yang dapat membuat pembaca mengerti bahwa siapakah pengarang yang menulis sajak lisong itu. Analisis itu dilanjutkan dengan mengupas seluk-beluk sastrawan ternama itu.

Menurutnya, Rendra memiliki andil yang besar bagi perkembangan sastra di Indonesia. Hal ini dipertegas dengan data yang diteliti oleh seorang peniliti dari Jerman Dr. Rainer Carle dengan diterbitkannya sebuah buku yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen berupa kumpulan puisi (1957-1972). Di dalam buku tersebut dimuat cukup mendetail tentang perkembangan puisi Rendra sampai dengan kumpulan Blues untuk Bonnie. Di dalam buku yang terakhir berisi protes social yang berupa protes tehadap ketidak-beresan masyrakat Indonesia dan Amerika, terhadap kemiskinan dan penderitaan manusia.

Gaya kepenulisan Rendra yang terkesan blak-blakan membuat A. Teuw gemar membaca hasil karya Rendra. Dengan gaya seperti itu memberikan suatu kekhasan tersendiri, hingga pak Teuw bisa seolah-olah kehilangan rahasia puisi tersebut. Unsur lirik yang sangat individual dan orisinal menambah keistemewaan puisi-puisi Rendra. Dari sudut pembaca juga mudah menyimpulkan arti yang terkandung dalam puisi tersebut.

Pada kumpulan puisinya yang terakhir yang berjudul Pamplet Penyair, Rendra berbicara mengenai bagaimana dia membina dunia dengan sifat retoriknya, bagaimanapun miripnya dunia nyata tetap merupakan dunia rekaan. Oleh karena itu, pak Teuw merasa tertarik untuk mengupas lebih dalam lagi mengenai sajak tersebut, sebuah sajak retorik yang dengan jelas memperlihatkan perbedaan asasi dalam hal teknik kepenyairan dalam puisi lirik. Selain itu, ketertarikannya juga dilandasi adanya perkembangan puisi Rendra yang lama-kelamaan mulai menunjukkan globalisasi di dunia kesastraan.

Setelah membahas mengenai subjektifitas dari pengarang itu sendiri, beliau mulai merambat terhadap unsur-unsur yang terkandung dalam puisi itu sendiri. Dimulainya dengan sedikit memberikan pendahuluan mengenai sistematika dari puisi tersebut, yaitu pada bait pertama berupa semacam introduction berisi lukisan umum mengenai situasi Indonesia pada era-nya. Kemudian pada bait kedua hingga keempat secara berturut-turut diutarakan penglihatan si aku di pagi hari. Dimana yang dia liat merupakan hal yang tidak baik dan tidak menyenangkan. Si aku disini teresa amat menjengkelkan itu amat terasa dikala dia memberikan jawaban yang tidak memuaskan. Bait kelima sejajar dengan bait pertama mengenai konstatasi umum, selanjutnya bait keenam hamper sama dengan bait bait kedua dan bait ketujuh mirip dengan bait ketiga. Sedangkan pada bait kesembilan merupakan suatu kesimpulan dan bait kesepuluh berupa pengakuan keyakinan.

Jika kita teliti lebih rinci pada bait kedua hingga keempat sangat berkaitan dengan dunia kependidikan (….dan aku melihat 8 juta kanak-kanak tanpa pendidikan). Selain itu, pada bait keenam dan kedelapan sangat erat kaitannya dengan kesenian, kesustrasaan, dengan kebudayaan (…membentuk jidat penyair-penyair salon….).

A. Teuw menerapkan argument-arumennya kedalam aplikasinya secara langsung yaitu sajak lisong itu sendiri. Beliau menganalisis dari bait demi bait hingga selesai. Awal bait pertama sangatlah menarik perhatian dimana tiga kata kerja aktif, agentif, tanpa subjek yang disebut secara eksplisit siapakah yang menghisap lisong, melihat dan mendengar?. Yang menhisap lisong mestilah orang atasan, orang luar, seorang peninjau, yang sambil mengisap lisong melihat Indonesia Raya dan mendengar 130 juta rakyat. Cukong pada sajak itu mewakili segala yang tidak beres dalam ekonomi Indonesia, penyelewengan, korupsi, praktek kongkalikong, kekuasaan ekonomi dalam tangan segelintir orang yang berjumlah kecil dan mereka menghina rakyat Indonesia dengan kelakuan yang sehina-hinanya.

Pada bait kedua secara singkat A. Teuw mendiskripsikan kesederhanaan rakyat Indonesia, tanpa basa-basi dan tanpa keindahan. Rendra memperindah karyanya dengan melukiskan keadaan alam yang ada. Perbedaan bait pertama dengan yang kedua terdapatnya subyek yang melihat yakni tokoh aku itu sendiri. Sehingga tokoh aku itu sudah mulai menjelma dalam kehidupan nyata.

Dalam bait ketiga, si aku mulai bertanya untuk memperoleh keterangan. Tetapi hal tersebut menjadi sia-sia karena dia tidak bisa berkomunikasi dengan manusia yang bertanggung jawab. Dia hanya bertemu sosok-sosok benda mati yang itu semua merupakan abstraksi dari kenyataannya. Hal itu dapat kita pertegas dengan panjangnya larik dan kata dalam sajak itu. Disini meja dan papan tulis merupakan sebuah simbol dari dunia kependidikan khususnya guru. Mengapa Rendra tidak memakai kata guru karena konteks guru sudah menghilang dari birokrat yang harus disebut pendidik.

Bait keempat merupakan kesimpulan yang pertama si aku. Delapan juta kanak-kanak, mereka menghadapi jalan tak ada ujung, panjang tanpa pilihan (pendidikan semestinya harus memberi pilihan atau alternatif kepada manusia muda sesuai dengan bakatnya). Dari sini kita dapat tarik kesimpulan bahwa pada era itu anak-anak muda kurang diberikan kebebasan. Pendidikan pada masa itu pun kurang begitu berguna bagi mereka karena mereka tidak mendapatkan sesuatu yang berharga, dengan kata lain karya-karya mereka kurang mendapat apresiasi.

Seperti yang telah dikemukakan A. Teuw pada konsepnya, bait kelima sejajar dengan bait pertama. Si aku menjadi subjek kata kerja bagian pertama. Sambil mengisap udara deodorant (tanda kemewahan kalangan tertentu, yang bekasnya tercium di udara). Beliau juga beranggapan bahwa pendidikan gagal, tidak hanya disebabkan oleh 8 juta kanak-kanak tanpa pendidikan melainkan banyaknya sarjana-sarjana yang menganggur. Berpeluh di jalan raya seperti seorang gelandangan. Di langit para teknorat berkata (jadi disini para teknorat ditempatkan di langit, jauh di atas persoalan kehidupan nyata). Bangsa Indonesia sendiri yang salah karena mereka malas, tidak mau dibangun dan tidak mau menyesuaikan dengan teknologi asing. Makna teknorat disini sama dengan cukong pada bait pertama sebab sama-sama menghina rakyat Indonesia.

Pada bait keenam sejajar dengan bait kedua Rendra melukiskan keindahan alam Indonesia tetapi ia mengutakannya dengan tanpa panjang lebar atau orisinal, sebab waktu sudah larut malam dan keadaan keadaan yang tidak beres itu menimbulkan sebuah protes dari si aku. Proses itu sangat rawan sekali bahayanya, jadi si aku merasa bertanggung jawab. Kalau pendidik tidak memberi jawaban yang patut dia akan berhadapan dengan para seniman. Tidak ada meja, papan tulis tetapi pada jidat penyair-penyair (dia tidak berhasil memasukkan pertanyaannya yang mendesak ke dalam otak apalagi ke dalam hati mereka). Sajak tentang anggur dan rembulan ( mereka mabuk entah mabuk karena minuman, mabuk keindahan-keindahan atau kedua-duanya). Tidak mengherankanlah kalau kanak-kanak yang sudah tidak mendapat pendidikan sekali lagi tertanya-tanya, termangu-mangu di kaki dewi kesenian. Hanya itukah yang dapat dihasilkan oleh seni, sastra dan kebudayaan untuk mereka yang bertangan kosong dan hatinya kosong? Pertanyaan ini tidak hanya ditujukan pada para pendidik melainkan juga bagi seorang seniman.

Pada bait ketujuh sejajar dengan bait keempat. Keadaan yang lebih parah lagi dilukiskan pada bait ini. Harapan bangsa sudah kehilangan perpektif untuk selama-lamanya, sebab sudah menjadi malam. Dunia mereka dikuasai oleh iklan berlampu neon (simbol teknologi yang diimport tetapi mereka bersalah karena mutunya belum disesuaikan deengan sinar neon itu, sinar itu merupakan sebuah pertentangan dengan dewi kesenian). Mereka tidak hanya gagal oleh harapan mereka sendiri, bangsa dan orang tua tetapi merupakan juga bahaya laten.

Dalam bait kesembilan si aku sudah mulai mengikutsertakan pembacanya dalam sajaknya dengan memakai kata ganti kita (...kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing...). Pada bait ini terdapat tiga kata kerja yang dipakai secara berurutan yaitu mencatat, merumuskan dan menghayati dalam tiga kata kerja ini disimpulkan aktivitas yang sungguh-sungguh perlu. Menariknya kata kerja tersebut sama-sama berawalan me-, sedangkan pada bait kelima tadi paara teknorat menjadikan rakyat obyek biasa saja mesti dibangun, diupgrade, disesuaikan.

Pada bait terakhir yaitu bait kesepuluh si aku secara jelas mempertentangkan diri sebagai penyair dengan penyair salon yang ditulisnya pamplet masa darurat, sebab bukan masanya untuk duduk di salon lagi. Renda-renda kesenian, kemewahan dan perhiasan seni tidak berarti lagi kalau terpisah dari derita lingkungan dan berfikir tidak bermanfaat kalau terpisah dari masalah kehidupan yang nyata. Kesenian, pengetahuan, kebudayaan dan pendidikan yang lepas dari fakta menjadi tidak berguna. Bukan bangsa yang harus disesuaikan dengan teknologi yang diimport, tetapi justru sebaliknya teknologi yang diperlukan harus disesuaikan dengan masalah yang nyata, dengan keperluan rakyat yang sungguh-sungguh.

Dalam penutupan kritiknya pak Teuw menelusuri adanya sifat retorik yang melekat pada jiwa Rendra. Sifat retorik dalam jika dikatikan dengan tujuannya mengandung arti alat untuk meyakinkan si pembaca untuk menggerakkan pembaca ke arah yang dianggap perlu. Ini tampak sekali karena dalam sajaknya Rendra memakai kata-kata yang panjang dan seringkali terdapat pergandaan kata. Biasanya para penyair modern dan lama lebih senang memakai kata yang seminimal mungkin guna rahasia puisi ini dapat terungkap, tetapi sebaliknya pada Rendra. Mungkin Rendra menggunakan metode itu demi efek menekankan sifat birokrasi kaum pendidik, tetapi ini bisa menyebabkan kebosanan dari sudut pandang pembaca.

Sifat retorik yang terdapat dalam puisi Rendra ini tidak ada hubungan langsung dengan fungsi kemasyarakatan puisi Rendra. Menurutnya puisi itu untuk pendengar bukan untuk pembaca. Alat retorik yang diungkapakan diatas itu hanya bersifat nyanyian pada saat performing art dan aspek tersebut menjadi kekhasan pada puisi yang bersifat oral.

Aspek-aspek yang terdapat pada sajak ini yaitu aspek emosi, kognitif, dan evaluatif. Aspek emotif terdapat pada keinginan untuk melawan para teknorat dan cukong yang telah menghina bangsa Indonesia. Aspek kognitif timbul pada permainan kata-kata yang ditulis Rendra sehingga dapat menggerakkan hati kita untuk ikut terpengaruh ajakan penulis. Aspek evaluatif kita peroleh pada bait kesepuluh yaitu selama ini kita telah diperbudak oleh duniawi saja termasuk media teknologi.

Kesimpulan yang saya peroleh dalam analisis yang dilakukan oleh A. Teuw bahwa penggunaan kata-kata yang terlalu panjang bisa membuat rahasia puisi ini menjadi hilang sehingga makna yang ingin tersampaikan dari pengarang gagal kita tangkap dengan benar.

Tidak ada komentar:

Searching